Kehendak Bebas Dan Kehendak Tidak Bebas (2)
1. Determinisme
Determinisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua peristiwa terjadi oleh sebab adanya keharusan, dan sebab itu tidak bisa dielakkan.
Suatu peristiwa yang muncul saat ini adalah bergantung pada peristiwa yang mendahuluinya.
Semua peristiwa mengikut hukum-hukum yang ajeg, atau yang disebut hukum alam.
Dalam perkembangannya determinisme ini berujud pada beberapa bentuknya, seperti causal determinism, fatalism atau predeterminisme.
Causal determinism merupakan teori sebab akibat.
Determinisme sering diidentikkan dengan causal determinime ini, yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa peristiwa yang terjadi saat ini adalah akibat dari suatu sebab dari peristiwa yang mendahuluinya. Di sini saya lebih memilih menggunakan term ini.
Fatalisme adalah suatu pandangan bawa segala sesuatu pasti terjadi oleh sebab harus terjadi dalam caranya sendiri tanpa mempedulikan usaha manusia. Segala usaha kita untuk membatalkannya pasti gagal. Jadi dengan demikian nasiblah yang menentukan.
2. Indeterminisme
Indeterminisme adalalah suatu konsep pemikiran bahwa suatu peristiwa tertentu tidak terkait secara khusus antara satu dengan lainnya. Peristiwa yang terjadi saat ini tidak terkait secara khusus dengan peristiwa yang mendahuluinya.
Indeterminisme ini juga sering diidentikkan dengan ‘free will’.
Sejatinya indeterminisme dan free will adalah suatu hal yang berbeda, namun saling terkait. Free will adalah kemampuan secara bebas untuk memilih beberapa tindakan tertentu terhadap tindakan yang mungkin. Namun dalam berbagai tulisan kita jumpai yang mengidentikkannya itu. Dalam tulisan ini saya lebih memilih untuk menyederhanakan, yaitu cenderung menggunakan term yang mengidentikkan.
Oleh sebab hal ini merupakan bahasan filsafat, mestinya maka cakupan bahasannya sangat luas, namun saya harus membatasinya.
Sebagaimana kita sama mafhum bahwa pada awalnya di dalam filsafat itu mencakupi ilmu penetahuan maupun agama. Lalu dalam perkembangannya diadakanlah pemisahan menjadi tiga cakupan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang, yang begitu canggih ini tidak terlepas dari tahapan perkembangannya. Yunani dicatat dalam sejarah sebagai titik awal peletak dasar peradaban modern (post modern) yang kita saksikan saat ini. Tercatat sejak jaman mitologi, animisme, dinamisme, hingga bekembang pada monoteisme, munculnya abad pencerahan, hingga berkembangnya positivisme, lalu sampailah pada saat ini dengan segala dinamikanya.
Lalu bagaimana posisi kita?. Dalam kontek ini, kalau kita melihat dari batasn yang saya kemukakan di atas. Maka sejatinya antara determinisme dan indeterminisme ada kecenderungan untuk saling mendekat. Artinya Determinisme berkecenderungan mempunyai arti yang lentur, yaitu akibat dari sebab itu diyakini bisa dieliminir, bahkan juga bisa diatasi dengan kontra sebab dari akibat yang terjadi (causal determinisme).
Sedang pada indeterminisme juga mengakui adanya sebab akibat. Hanya beda orientasinya, determinisme berorientasi baik ke si sebab maupun ke si akibat, sedang in determinisme lebih berorientasi pada si akibat.
Sebagaimana yang saya utarakan di atas, bahwa determinisme dan indetrminisme ini akan menjadi esensial saat berkaitan dengan aspek hukum dalam pengertian luas. Dalam arti terkait dengan pertanggung jawaban. Dengan pertanyaan inti, siapa yang harus bertanggung jawab?.
Dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku di banyak negara ‘modern’ (dalam tanda kutip), mungkin ada lebih tepatnya bila menggunakan term negara ‘sekuler’ (juga tetap dalam tanda kutip), yang menggunakan pendekatan determinisme. Dalam arti tindakan manusia tergantung dari kondisi yang melingkupinya. Tidak lepas dari itu.
Oleh sebab itu lingkungan harus ikut bertanggung jawab terhadap akibat dari sebab di lingkungan itu. Lalu, pastinya siapakah yang harus ikut bertanggung jawab?. Jawabnya adalah masyarakat secara keseluruhan. Sebagai wakil dari masyarakat itu adalah suatu organisasi besar yang disebut negara.
Maka itu negara harus mencari tahu apa sebab dari akibat bagi setiap person atau kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi itu, baik yang positif maupun yang negatif.
Suatu contoh, terhadap terjadinya tindak pidanana tidak boleh melakukan penanganan tindakan yang melebihi kapaditas perbuatan yang dikakukan oleh si pelaku (azas proporsionalitas), walaupun ia jelas memang dilihatnya sebagai melakukan tidak pidana (—Bagi yang pernah belajar ilmu hukum tentu tahu persis tentang ini—). Contoh yang masih segar, yaitu kasus yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu di Amirika Serikat.
Berbeda bila dibandingkan dalam hukum masa lalu, sebelum munculnya teori modern tentang hukum pidana (penitensier) ini, yang mana teori pembalasanlah yang diterapkan. Hukuman-hukuman yang kejam ditimpakan pada pelaku, seperti penganiayaan, hingga pembunuhan, hanya oleh sebab kesalahan yang ringan sekalipun.
Demikian juga, negara tidak lagi berujud sebagai negara polisi, melainkan diganti dengan pusat orientasi sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Negara sebagai oraganisasi yang menaungi warga negarannya harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Tidak bisa lepas tangan dengan seolah-olah ‘mengatakan’, itu kan salahmu sendiri.
Asumsinya pandangan tersebut adalah, bahwa secara azasi manusia tidak punya kehendak bebas. Sebab sistem atau pola yang dianut suatu negara atau tindakan real sutu rezim akan memberi dampak, bahkan secara signifikan terhadap nasib rakyatnya.
Demikian saya gambarkan dua contoh di atas.
Dari uraian di atas itu muncul pula pertanyaan, bagaimana dengan indeterminisme?. Kalau indeterminisme adalah dipahami sebagai suatu konsep pemikiran bahwa suatu peristiwa tertentu tidak terkait secara khusus antara satu dengan lainnya.
Peristiwa yang terjadi saat ini tidak terkait secara khusus dengan peristiwa yang mendahuluinya. Maka negara bisa menjadi sah untuk melakukan tindakan-tindak tidak mau tahu dengan semua dasar yang telah mendahului kondisi rakyatnya.
Bilamana indeterminisme diartikan sebagai free will, yaitu kemampuan secara bebas untuk memilih beberapa tindakan tertentu terhadap tindakan yang mungkin. Juga masih belum menyentuh kebutuhan rakyat yang terlilit oleh sebab yang mendahului, yaitu oleh sebab negaranya, atau rezin yang berkuasa atasnya.
Itulah diantara kelemahan indeterminisme, kendatipun diartikan secara free will sekalipun, dalam kaitannya dengan pertanggung jawaban azasi.
Bagaimanakah prespektif anda?. (BERSAMBUNG).
(A. Fuad Usfa, Cannington. 29 Juni 2020, ‘Kehendak Bebas Dan Kehendak Tidak Bebas (2)’)