Dunia Pendidikan Kita dan Fenomenanya di Indonesia

  • Share
fenomena pendidikan di indonesia

Judul Asli: DUNIA PENDIDIKAN KITA DAN IRONI

Oleh: A. Fuad Usfa

1. Pengantar
Tulisan ini adalah tulisan lama saya, oleh sebab saya lihat masih sesuai dengan kontek sekarang maka saya coba kemas kembali dengan penyesuaian, termasuk judul dan titik tekan.

Dalam tulisan-tulisan saya sering memuat kritik, namun bukan bermaksud mendiskreditkan, melainkan sekedar untuk memaparkan realita dan sikap urun-rembuk sebagai rasa tanggung jawab bersama. Bisa jadi kritik itu sekaligus juga tertuju pada diri saya. Tak lain untuk menjadi renungan kita bersama, demi perbaikan ke depan. Sering saya katakan bahwa kita-kita ini adalah produk sejarah.

2. Pendahuluan
Pendidikan dan pengajaran merupakan suatu istilah yang mempunyai pengertian berbeda, tapi keduanya selalu digunakan dalam satu kesatuan. Pendidikan berorientasi pada pembentukan dan pengembangan mentalitas, sedang pengajaran lebih pada pembentukan dan pengembangan rasionalitas. Keduanya bisa dibedakan, tapi tidak bisa dilepas-pisahkan.

Artinya seseorang yang memperoleh pengajaran akan berimplikasi pada pembentukan dan pengembangan rasionalitas dan sekaligus terhadap mentalitasnya. Untuk membentuk serta mengembangkan mentalitas haruslah melalui pengajaran terlebih dahulu. Artinya jika menyebut pendidikan tentu di dalamnya termasuk pengajaran. Dalam konteks inilah saya menggabungkan kedua istilah itu sehingga menjadi pendidikan saja.

Pendidikan merupakan universal kebudayaan, namun sifat spesifikasinya berbeda antara masyarakat satu dengan yang lainnya (Strephen K sanderson, 1993: 487). Pada skala mikro, dalam arti individu dan keluarga, akan berbeda antara individu dan keluarga satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu terciptalah perbedaan mentalitas dan rasionalitas diantaranya. Dalam tataran makro demikian pula halnya.

Mentalitas dan rasional adalah suatu abstrak yang tidak dapat dibentuk secara matematis, ia adalah gelombang yang bergerak dinamik. Dalam konteks ini dunia pendidikan tidak dapat dilepas-pisahkan dengan skala dinamika ruang dan waktu.

Secara fisik manusia tidak jauh dari banyak binatang, yang membedakanya adalah rasio dan mentalitasnya. Kekuatan inilah yang menyebabkan manusia terus berkembang seiring dengan dinamika dalam ruang dan waktu, baik secara individu maupun kelompok.

Walau diantara individu maupun kelompok satu dangan yang lain selalu terdapat perbedaan, tapi diantara mereka terdapat pula persamaan. Persamaan itu dapat berupa persamaan paradigmatik maupun persamaan universalitas. Pada konteks yang tersebut pertama adalah disebabkan adanya kesamaan kepentingan bentukan, sedang pada konteks kedua disebabkan karena bawaan asal (fitrah).

Dunia pendidikan selalu berkembang seirama dengan berkembanganya dalam ruang dan waktu. Dari segi pengorganisasiannya pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Pendidikan yang terorganisir dapat dibedakan kedalam pendidikan yang terorganisir secara formal, yaitu yang diikat oleh aturan tertentu yang didasarkan pada formalitas tertentu pula, dan pendidikan yang terorganisir secara non formal, yaitu yang tidak terikat oleh suatu aturan tertentu atas dasar formalitas tertentu.

Berdasarkan sejarah perkembangannya, pada garis besarnya pendidikan yang terorganisir dapat dibedakan dalam tiga tipe (Randal Collins dalam K. Sanderson, 1993:487), yaitu pendidikan dalam keterampilan praktis, pendidikan untuk keanggotaan kelompok status dan pendidikan birokratis.

Pendidikan keterampilan praktis dirancang untuk memberikan keterampilan dan kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan.pendidikan ini didasarkan pada suatu bentuk pengajaran guru-guru magang (master-apprentice).

Pendidikan kelompok status dilakukan untuk tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise serta hak-hak istimewa (previlage) kelompok elit dalam masyarakat yang memilki lapisan sosial. Selanjutnya pendidikan birokratis diciptakan oleh pemerintah untuk melayani salah satu atau kedua tujuan, yaitu sebagai alat seleksi untuk merekrut orang untuk posisi-posisi pemerintahan, atau sebagai cara mensosialisasikan dan mendisiplikan massa agar memenangkan tuntutan politik mereka.

Pada pendidikan tipe pertama dan kedua tidak dibutuhkan formalitas-formalitas tertentu, sedang pada tipe ketiga sarat dengan formalitas. Pada type ketiga itu penuh dengan penekanan pada persyaratan kehadiran, kelas dan diploma.

Ketiga tipe yang berbeda itu sering kali ada dalam masyarakat yang sama, baik dalam masyarakat agraris maupun modern, meskipun ada tipe yang diberi penekanan melebihi yang lainnya.

3. Pendidikan Sebagai Investasi
Setiap manusia selalu menghitung segala sesuatunya. Kita ambil salah satu contoh sederahana, misalnya seseorang bertamu, ia akan menghitung tentang daya guna bertamu. Katakan misalnya (salah satunya), denga bertamu maka diharapkan ikatan silaturrahmi akan terjalin. Maka disadari atau tidak, sesungguhnya bertamu adalah merupakan investasi untuk memperoleh ikatan silaturrahmi.

Dalam kontek pendidikan demikian juga halnya. Dalam contoh yang sederhana, katakan misalnya orang tua mendidik anak sekalipun tidak lepas dari penghitungan. Dalam hal ini suatu misal dapat kita tarik, jika saya dan keluarga mendidik anak dengan cara yang demikian, maka saya dan keluarga diharapkan akan mendapatkan yang demikian, demikian pula bagi anak saya khususnya.

Dengan kata lain, dengan investasi yang demikian, diharapkan akan memperoleh hasil demikian. Perolehan atau buah itu bisa dalam bentuk materiil maupun immateriil. Dalam bentuk materiil misalnya, dalam masyarakat traditional, kegiatan berkerja bersama diladang maupun di rumah, penghasialan berupa barang ataupun uang dan lain-lain, sedang perolehan atau buah immaterial dapat berupa kebanggaan, pujian dari orang lain,dan lain-lain.

Untuk memperoleh sesuatu manusia harus menggunakan daya. Daya adalah kekuatan. Kekuatan dari segala aktivitas manusia baik fisik maupun non fisik disebut sumberdaya manusia. Oleh sebab segala sesuatu dapat menjadi obyek aktivitas manusia, maka segala sesuatu itu dapat dirancang agar tunduk padanya. Sebagai ilustrasi, bila si Falun memiliki 1 ha tanah yang subur, tapi sumberdaya (kekuatan) si Falun tidak bagus, maka si Falun hanya akan mendapatkan sedikit hasil dengan kualitas yang tidak seberapa bagus.

Tapi sebaliknya, si Fulan yang hanya memilik tanah yang lebih sempit dan tidak subur (secara alami/sumber daya alam), tapi karena si Fulan mempunyai sumberdaya yang bagus, maka ia akan memperoleh hasil yang jauh lebih banyak dan lebih bagus. Bangsa Jepang hanya memiliki wilayah negara yang jauh lebih sempit dari pada Indonesia, tapi Jepang dikenal sebagai salah satu negara maju, demikian pula dibanyak negara Eropa. Persoalannya bukan pada berapa luas negara atau sumberdaya alam yang mereka miliki, melainkan terletak pada persoalan sumberdaya manusianya.

Membina sumberdaya manusia itu harus melalui proses pendidikan. Untuk mengejar kemajuan, tidak bisa tidak harus melalui proses pendidikan yang berkemajuan. Dalam konteks ini pula kita dapat memahami mengapa Indonesia dapat didahului oleh Malaysia, padahal hingga dekade 70 an Malaysia masih berada di bawah peringkat Indonesia.

Kunci suksesnya adalah di saat boming minyak, Indonesia sibuk dengan pembangunan fisik, hingga mencapai pada tingkat yang mengesankan, sedang Malaysia sibuk menyekolahkan putra bangsanya ke berbagai penjuru dunia. Hasilnya, di saat harga minyak anjlok di awal dekade 80 an, Malaysia panen dengan sumberdaya manusia yang siap membangun negeri. Sejak itulah Malaysia bangkit.

4. Pendidikan dan Pasar
Orientasi pendidikan dalam perkembangannya telah mengalami pergerakan dari masa ke masa. Sejak tahun 1950 ekspansi pendidikan yang besar dan dramatis terjadi diseluruh dunia. Dengan demikian semakin banyak kalangan muda yang masuk sekolah untuk semua tingkatan. Sertifikat pendidikan akhirnya telah menjadi persyaratan sebagai keharusan bagi individu-individu untuk memperoleh jalan masuk kedalam pekerjaan-pekerjaan sektor modern, yang secara ekonomis prestise menjajikan.

Di Inggris hingga akhir abad XIX para insiyur sipil tidak mengikuti ujian formal, mereka hanya memasuki profesi mereka melalui sistem magang. Mulai pertengahan abad XX keadaan tersebut berubah, sehingga sertifikat pendidikan menjadi sangat penting untuk memasuki suatu profesi. Pada tahun 1970 persyaratan pendidikan formal telah menjadi suatu keharusan mutlak. Malah di Jepang sejak awal tahun 1910 telah banyak perusaahan bisnis hanya merekrut lulusan universitas (Dore dalam Stephen K. sanderson, 505).

Dengan demikian sertifikasi mempunyai nilai yang sangat penting, dan oleh sebab itu orang berusaha menggapai sertifikat untuk dapat mengakses pasar kerja. Pemilikan sejumlah tertentu sertifikat pendidikan dipandang sebagai seperangkat surat kepercayaan (credentials) yang akan memberi akses posisi-posisi pekerjaan tertentu yang mereka inginkan.

Namun semakin banyak orang yang memperoleh surat kepercayaan, maka surat kepercayaan itu menjadi semakin berkurang nilainya, dengan demikian terjadilah inflasi surat kepercayaan (Collins dalam Stephen K. Sanderson, 1993:498).

Atas realitas yang demikian itu, lalu pendidikan mengalami kompetisi yang mengetat, maka terjadilah upaya mengemas pendidikan secara kreatif untuk mampu berkompetisi di dunia pasar.

5. Fenomena Pendidikan di Indonesia
Mencermati fenomena pendidikan di Indonesia tidak lepas daripada fenomena pendidikan global sebagaimana telah dipaparkan diatas. Ada beberapa hal penting yang perlu di ketengahkan di sini.

Pendidikan formal telah tumbuh di mana-mana secara mengessankan, sehingga Indonesia telah mampu terbebas dari buta huruf latin. Tatkala dahulu tamatan Sekolah Rakyat sudah dipandang terpelajar, dan ijasah mereka sangat tinggi nilainya, kemudian bergeser setelah sebagian besar masyarakat menempuh jenjang tersebut, demikian seterusnya, seperti SLTP, SLTA dan bahkan perguruan Tinggi yang amat banyak peminatnya. Realitas semacam inilah yang disebut sebagai masyarat berpendidikan berlebihan (overeducated society).

Suatu masyarakat yang berpendidikan berlebihan bukanlah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya sudah terlalu menjadi berpengetahuan atau terpelajar, melainkan masyarakat yang telah membangkitkan lebih banyak pelajar yang mempunyai jenjang pendidikan melebihi yang dapat diserap ke dalam pekerjaan yang oleh mereka yang memengang ijasa itu dipandang memuaskan (Stephen K. Sanderson, 1993:512)

Model pendidikan di Indonesia dikenal sebagai model pendidikan kurikulum padat subjek (-dengan bahasa lain adalah mata pelajaran yang banyak/bertumpuk dan bahkan beragam pula-), ini terjadi dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Metode menghafal dan pola-pola feodalistik pun masih sangat kuat.

Saya berpendapat model dan pola seperti itu sudah perlu untuk dilakukan kaji ulang, jika kita hendak mencetak anak bangsa yang kreatif dan berkecerdasan. Keadaan tersebut sering kali diperburuk oleh klaim idiologi dan politik yang masuk ke jantung dunia pendidikan kita, sehingga sang anak tidak lagi sebagai anak ilmu, melainkan anak doktrin. Mereka tidak lagi anak kreatif melainkan anak wayang.

Ada dua macam pendidikan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu pendidikan umum dan khusus. Pendidikan khusus dimaksudkan untuk memberi keterampilan khusus bagi peserta didik. Muatan kurikulum lebih bersifat teknik aplikatif. Jenjang di Perguruan Tinggi meliputi Strata 1, Strata 2 dan Strata 3. disamping itu juga terdapat jenjang Diploma yang lebih berorientasi pada keterampilan teknis aplikatif.

Kontrol terhadap lembaga-lembaga pendidikan masih sangat lemah, sehingga seringkali dunia pendidikan mudah untuk dijadikan ajang bisnis yang tak ‘bertanggung jawab’. Mobilisasai pendidikan telah membuka jalan pada keadaan yang demikian itu bila tanpa disertai perangkat kontrol yang mumpuni. Tampilnya model ‘surat kepercayaan’ telah membuka jual-beli surat kepercayaan, baik yang berkedok resmi maupun tidak resmi. Hal tersebut diperburuk oleh melonjaknya biaya pendidikan yang makin menggila yang juga tidak mamapu dikontrol pemerintah.

6. Ironi
Terdapat ribuan lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk Perguruan Tinggi. Diantara lulusan mereka terdapat banyak yang tidak terserap dalam pasar kerja. Diantara mereka terdapat sarjana-sarjana perikanan dan yang berhubungan dengannya, pertanian/perkebunan dan yang berhubungan dengannya dan lain-lain, sementara realitas menunjukkan bahwa bidang-bidang tersebut terbengkalai dihadapan kita dan tidak tersentuh oleh mereka, padahal Indonesia adalah negara maritim yang menurut penelitian yang dilakukan oleh Panitia Nasional Penelitian Laut terdapat 13.677 buah pulau besar dan kecil (Yayasan Kanisius, 1977:454), serta tergolong negara agraris yang subur. Belum lagi tentang potensi tambang yang masih tersembunyi diperut bumi.

Belum lagi terhadap bidang-bidang studi yang lain.
Suatu fakta yang menunjuk pada sebuah ironi.
(Cannington WA, 6 Juli 2020)

*) Daftar Pustaka

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam, UMM Pres, 1996

Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, edisi kedua, Rajwali Pres, Jakarta, 1993

Yayasan Kanisius, Ensiklopedi Umum, Yayasan Kanisius, 1973

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *